37
Kebiasaan Orang Tua Yang Menghasilkan Perilaku Buruk Pada Anak
Mengapa oh mengapa?
·
Apakah anda mulai merasa kesulitan
mengendalikan perilaku anak anda?
·
Apakah anda dan pasangan sering nggak
sepaham dalam mendidik anak anak?
·
Apakah anak anda sering merengek dan
maksa untuk dituruti kemauannya?
·
Apakah anak anda sering berantem satu
sama lain?
·
Apakah anda kesulitan karena anak anda
selalu nonton tv atau maen ps?
Jika
anda menjawab ya dari salah satu pertanyaan diatas, maka ada baiknya baca tips
tips dibawah ini. Berikut ini adalah tips tips dari buku Ayah Edy ini (judulnya
37 kebiasaan orangtua yang menghasilkan perilaku buruk pada anak)
1. Raja yang Tak Pernah Salah
Sewaktu anak kita masih kecil dan belajar jalan tidak jarang tanpa sengaja mereka menabrak kursi atau meja. Lalu mereka menangis. Umumnya, yang dilakukan oleh orang tua supaya tangisan anak berhenti adalah dengan memukul kursi atau meja yang tanpa sengaja mereka tabrak. Sambil mengatakan, “Siapa yang nakal ya? Ini sudah Papa/Mama pukul kursi/mejanya…sudah cup….cup…diem ya..Akhirnya si anak pun terdiam.
Ketika proses pemukulan terhadap benda benda yang mereka tabrak terjadi, sebenarnya kita telah mengajarkan kepada anak kita bahwa ia tidak pernah bersalah.
Yang salah orang atau benda lain. Pemikiran ini akan terus terbawa hingga ia dewasa. Akibatnya, setiap ia mengalami suatu peristiwa dan terjadi suatu kekeliruan, maka yang keliru atau salah adalah orang lain, dan dirinya selalu benar. Akibat lebih lanjut, yang pantas untuk diberi peringatan sanksi, atau hukuman adalah orang lain yang tidak melakukan suatu kekeliruan atau kesalahan.
Kita sebagai orang tua baru menyadari hal tersebut ketika si anak sudah mulai melawan pada kita. Perilaku melawan ini terbangun sejak kecil karena tanpa sadar kita telah mengajarkan untuk tidak pernah merasa bersalah.
Lalu, apa yang sebaiknya kita lakukan
ketika si anak yang baru berjalan menabrak sesuatu sehingga membuatnya menangis?
Yang
sebaiknya kita lakukan adalah ajarilah ia untuk bertanggung jawab atas apa yang
terjadi; katakanlah padanya (sambil mengusap bagian yang menurutnya terasa
sakit): ” Sayang, kamu terbentur ya. Sakit ya? Lain kali hati-hati ya, jalannya
pelan-pelan saja dulu supaya tidak membentur lagi.”
2. Berbohong Kecil
Awalnya
anak-anak kita adalah anak yang selalu mendengarkan kata-kata orang tuanya,
Mengapa? KArena mereka percaya sepenuhnya pada orang tuanya. Namun, ketika anak
beranjak besar, ia sudah tidak menuruti perkataan atau permintaan kita? Apa
yang terjadi? Apakah anak kita sudah tidak percaya lagi dengan perkataan atau
ucapan-ucapan kita lagi?
Tanpa sadar kita sebagai orang tua setiap hari sering membohongi anak untuk menghindari keinginannya. Salah satu contoh pada saat kita terburu-buru pergi ke kantor di pagi hari, anak kita meminta ikut atau mengajak berkeliling perumahan. Apa yang kita lakukan? Apakah kita menjelaskannya dengan kalimat yang jujur? Atau kita lebih memilih berbohong dengan mengalihkan perhatian si kecil ke tempat lain, setelah itu kita buru-buru pergi? Atau yang ekstrem kita mengatakan, “Papa/Mama hanya sebentar kok, hanya ke depan saja ya, sebentaaar saja ya, Sayang.” Tapi ternyata, kita pulang malam. Contah lain yang sering kita lakukan ketika kita sedang menyuapi makan anak kita, “Kalo maemnya susah, nanti Papa?Mama tidak ajak jalan-jalan loh.” Padahal secara logika antara jalan-jalan dan cara/pola makan anak, tidak ada hubungannya sama sekali.
Dari beberapa contah di atas, jika kita berbohong ringan atau sering kita istilahkan “bohong kecil”, dampaknya ternyata besar. Anak tidak percaya lagi dengan kita sebagai orang tua. Anak tidak dapat membedakan pernyataan kita yang bisa dipercaya atau tidak. akibat lebih lanjut, anak menganggap semua yang diucapkan oleh orang tuanya itu selalu bohong, anak mulai tidak menuruti segala perkataan kita.
Tanpa sadar kita sebagai orang tua setiap hari sering membohongi anak untuk menghindari keinginannya. Salah satu contoh pada saat kita terburu-buru pergi ke kantor di pagi hari, anak kita meminta ikut atau mengajak berkeliling perumahan. Apa yang kita lakukan? Apakah kita menjelaskannya dengan kalimat yang jujur? Atau kita lebih memilih berbohong dengan mengalihkan perhatian si kecil ke tempat lain, setelah itu kita buru-buru pergi? Atau yang ekstrem kita mengatakan, “Papa/Mama hanya sebentar kok, hanya ke depan saja ya, sebentaaar saja ya, Sayang.” Tapi ternyata, kita pulang malam. Contah lain yang sering kita lakukan ketika kita sedang menyuapi makan anak kita, “Kalo maemnya susah, nanti Papa?Mama tidak ajak jalan-jalan loh.” Padahal secara logika antara jalan-jalan dan cara/pola makan anak, tidak ada hubungannya sama sekali.
Dari beberapa contah di atas, jika kita berbohong ringan atau sering kita istilahkan “bohong kecil”, dampaknya ternyata besar. Anak tidak percaya lagi dengan kita sebagai orang tua. Anak tidak dapat membedakan pernyataan kita yang bisa dipercaya atau tidak. akibat lebih lanjut, anak menganggap semua yang diucapkan oleh orang tuanya itu selalu bohong, anak mulai tidak menuruti segala perkataan kita.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Berkatalah dengan jujur kepada anak. Ungkapkan dengan
penuh kasih dan pengertian:
“Sayang, Papa/Mama mau pergi ke kantor. Kamu tidak bisa ikut. Tapi kalo Papa/Mama ke kebun binatang, kamu bisa ikut.”
Kita tak perlu merasa khawatir dan menjadi terburu-buru dengan keadaan ini. Pastinya membutuhkan waktu lebih untuk memberi pengertian kepada anak karena biasanya mereka menangis. Anak menangis karena ia belum memahami keadaan mengapa orang tuanya harus selalu pergi di pagi hari. Kita harus bersabar dan lakukan pengertian kepada mereka secara terus menerus. Perlahan anak akan memahami keadaan mengapa orang tuanya selalu pergi di pagi hari dan bila pergi bekerja, anak tidak bisa ikut. Sebaliknya bila pergi ke tempat selain kantor, anak pasti diajak orang tuanya. Pastikan kita selalu jujur dalam mengatakan sesuatu. Anak akan mampu memahami dan menuruti apa yang kita katakan.
“Sayang, Papa/Mama mau pergi ke kantor. Kamu tidak bisa ikut. Tapi kalo Papa/Mama ke kebun binatang, kamu bisa ikut.”
Kita tak perlu merasa khawatir dan menjadi terburu-buru dengan keadaan ini. Pastinya membutuhkan waktu lebih untuk memberi pengertian kepada anak karena biasanya mereka menangis. Anak menangis karena ia belum memahami keadaan mengapa orang tuanya harus selalu pergi di pagi hari. Kita harus bersabar dan lakukan pengertian kepada mereka secara terus menerus. Perlahan anak akan memahami keadaan mengapa orang tuanya selalu pergi di pagi hari dan bila pergi bekerja, anak tidak bisa ikut. Sebaliknya bila pergi ke tempat selain kantor, anak pasti diajak orang tuanya. Pastikan kita selalu jujur dalam mengatakan sesuatu. Anak akan mampu memahami dan menuruti apa yang kita katakan.
3. Banyak Mengancam
“Adik,
jangan naik ke atas meja! nanti jatuh dan nggak ada yang mau menolong!”
“Jangan ganggu adik, nanti Mama/Papa marah!
Dari sisi anak pernyataan yang sifatnya melarang atau perintah dan dilakukan dengan cara berteriak tanpa kita beranjak dari tempat duduk atau tanpa kita menghentikan suatu aktivitas, pernyataan itu sudah termasuk ancaman. Terlebih ada kalimat tambahan “….nanti Mama/Papa marah!”
Seorang anak adalah makhluk yang sangat pandai dalam mempelajari pola orang tuanya; dia tidak hanya bisa mengetahui pola orang tuanya mendidik, tapi dapat membelokkan pola atau malah mengendalikan pola orang tuanya. Hal ini terjadi bila kita sering menggunakan ancaman dengan kata-kata,namun setelah itu tidak ada tindak lanjut atau mungkin kita sudah lupa dengan ancaman-ancaman yang pernah kita ucapkan
“Jangan ganggu adik, nanti Mama/Papa marah!
Dari sisi anak pernyataan yang sifatnya melarang atau perintah dan dilakukan dengan cara berteriak tanpa kita beranjak dari tempat duduk atau tanpa kita menghentikan suatu aktivitas, pernyataan itu sudah termasuk ancaman. Terlebih ada kalimat tambahan “….nanti Mama/Papa marah!”
Seorang anak adalah makhluk yang sangat pandai dalam mempelajari pola orang tuanya; dia tidak hanya bisa mengetahui pola orang tuanya mendidik, tapi dapat membelokkan pola atau malah mengendalikan pola orang tuanya. Hal ini terjadi bila kita sering menggunakan ancaman dengan kata-kata,namun setelah itu tidak ada tindak lanjut atau mungkin kita sudah lupa dengan ancaman-ancaman yang pernah kita ucapkan
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Kita
tidak perlu berteriak-teriak seperti itu. Dekati si anak, hadapkan seluruh
tubuh dan perhatian kita padanya. tatap matanya dengan lembut, namum
perlihatkan ekspresi kita tidak senang dengan tindakan yang mereka lakukan.
Sikap itu juga dipertegas dengan kata-kata, “Sayang, Papa/Mama mohon supaya
kamu boleh meminjamkan mainan ini pada adikmu. Papa/Mama akan makin sayang sama
kamu.” Tidak perlu dengan ancaman atau teriaka-teriakan. Atau kita bisa juga
menyatakan suatu pernyataan yang menjelaskan suatu konsekuensi, misal “Sayang,
bila kamu tidak meminjamkan mainan in ke adikmu,Papa/Mama akan menyimpan mainan
ini dan kalian berdua tidak bisa bermain. Mainan akan Papa/Mama keluarkan, bila
kamu mau pinjamkan mainan itu ke adikmu. Tepati pernyataan kita dengan tindakan.
4. Bicara Tidak Tepat Sasaran
Pernahkah kita menghardik anak dengan kalimat seperti, “Papa/Mama tidak suka bila kamu begini/begitu!” atau “Papa/Mama tidak mau kamu berbuat seperti itu lagi!” Namun kita lupa menjelaskan secara rinci dan dengan baik, hal2 atau tindakan apa saja yang kita inginkan. Anak tidak pernah tahu apa yang diinginkan atai dibutuhkan oleh orang tuanya dalam hal berperilaku. Akibatnya anak terus mencoba sesuatu yang baru.
Dari sekian banyak percobaan yang dilakukannya, ternyata selalu dikatakan salah oleh orang tuanya. Hal ini mengakibatkan mereka berbalik untuk dengan sengaja melakukan hal2 yang tidak disukai orang tuanya. Tujuannya untuk mrmbuat orang tuanya kesal sebagia bentuk kekesalan yang juga ia alami (tindakannya selalu salah di hadapan orang tua).
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Sampaikanlah
hal2 atau tindakan2 yang kita inginkan atau butuhkan pada saat kita menegur
mereka terhadap perilaku atau hal yang tidak kita sukai.Komnikasikan secara
intensif hal atau perilaku yang kita inginkan atau butuhkan. Dan pada waktunya,
ketika mereka sudah megalami dan melakukan segala hal atau perilaku yang kita
inginkan atau butuhkan , ucapkanlah terimakasih dengan tulus dan penuh kasih
sayang atas segala usahanya untuk berubah.
5. Menekankan pada Hal-hal yang salah
Kebiasaan ini hampir sama dengan kebiasaan di atas. Banyak orang tua yang sering mengeluhkan tentang anak2nya tidak akur, suka bertengkar. Pada saat anak kita bertengkar, perhatian kita tertuju pada mereka, kita mencoba melerai atau bahkan memarahi. Tapi apakah kita sebagai orang tua memperhatikan mereka pada saat mereka bermain dengan akur? Kita seringkali menganggapnya tidak perlu menyapa mereka karena mereka sedang akur. Pemikiran tersebut keliru, karena hak itu akan memicu mereka untuk bertengkar agar bisa menarik perhatian orang tuanya,
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Berilah
pujian setiap kali mereka bermain sengan asyik dan rukun, setiap kali mereka
berbagi di antara mereka dengan kalimat sederhana dan mudah dipahami, misal:
”Nah, gitu donk kalau main. Yang rukun.” Peluklah mereka sebagai ungkapan
senang dan sayang.
6. Merendahkan Diri Sendiri
Apa yang anda lakukan kalau melihat anak anda bermain Playstation lebih dari belajar? Mungkin yang sering kita ucapkan pada mereka, “Woy… mati in tuh PS nya, ntar dimarahin loh sama papa kalo pulang kerja!” Atau kita ungkapkan dengan pernyataan lain, namun tetap dengan figur yang mungkin ditakuti oleh anak pada saat itu. Contoh pernyataan ancaman diatas adalah ketika yang ditakuti adalah figur Papa.
Perhatikanlah kalimat ancaman tersebut. Kita tidak sadar bahwa kita telah mengajarkan pada anak bahwa yang mampu untuk menghentikan mereka maen ps adalah bapaknya, artinya figure yang hanya ditakuti adalah sang bapak. Maka jangan heran kalau jika anak tidak mengindahkan perkataan kita karena kita tidak mampu menghentikan mereka maen ps.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Siapkanlah
aturan main sebelum kita bicara; setelah siap, dekati anak, tatap matanya, dan
katakan dengan nada serius bahwa kita ingin ia berhenti main sekarang atau
berikan pilihan, misal “Sayang, Papa/Mama ingin kamu mandi. Kamu mau mandi
sekarang atau lima menit lagi?” bila jawabannya “lima menit lagi Pa/Ma”. Kita
jawab kembali, “Baik, kita sepakat setelah lima menit kamu mandi ya. Tapi jika
tidak berhenti setelah lima menit, dengan terpaksa papa/mama akan simpan PS nya
di lemari sampai lusa”. Nah, persis setelah lima menit, dekati si anak, tatap
matanya dan katakan sudah lima menit, tanpa tawar menawar atau kompromi lagi.
Jika sang anak tidak nurut, segera laksanakan konsekuensinya.
7. Papa dan Mama Tidak Kompak
Mendidik abak bukan hanya tanggung jawab para ibu atau bapak saja, tapi keduanya. Orang tua harus memiliki kata sepakat dalam mendidik anak2nya. Anak dapat dengan mudah menangkap rasa yang menyenangkan dan tidak menyenangkan bagi dirinya. Misal, seorang Ibu melarang anaknya menonton TV dan memintanya untuk mengerjakan PR, namun pada saat yang bersamaan, si bapak membela si anak dengan dalih tidak mengapa nonton TV terus agar anak tidak stress.
Jika hal ini terjadi, anak akan menilai ibunya jahat dan bapaknya baik, akibatnya setiap kali ibunya memberi perintah, ia akan mulai melawan dengan berlindung di balik pembelaan bapaknya. Demikian juga pada kasus sebaliknya. Oleh karena itu, orang tua harus kompak dalam mendidik anak. Di hadapan anak, jangan sampai berbeda pendapat untuk hal2 yang berhubungan langsung dengan persoalan mendidik anak. Pada saat salah satu dari kita sedang mendidik anak, maka pasangan kita harus mendukungnya. Contoh, ketika si Ibu mendidik anaknya untuk berlaku baik terhadap si Kakak, dan si Ayah mengatakan ,”Kakak juga sih yang mulai duluan buat gara2…”. Idealnya, si Ayah mendukung pernyataan, “Betul kata Mama, Dik. Kakak juga perlu kamu sayang dan hormati….”
8. Campur Tangan Kakek, Nenek, Tante,
atau Pihak Lain
Pada
saat kita sebagai orang tua sudah berusaha untuk kompak dan sepaham satu sama
lain dalam mendidik anak-anak kita, tiba-tiba ada pihak ke-3 yang muncul dan
cenderung membela si anak. Pihak ke-3 yang dimaksud seperti kakek, nenek, om,
tante, atau pihak lain di luar keluarga inti.
Seperti pada kebiasaan ke-7 (Papa dan Mama tidak Kompak), dampak ke anak tetap negatif bila dalam satu rumah terdapat pihak di luar keluarga inti yang ikut mendidik pada saat keluarga inti mendidik; Anak akan cenderung berlindung di balik orang yang membelanya. Anak juga cenderung melawan orang tuanya.
Seperti pada kebiasaan ke-7 (Papa dan Mama tidak Kompak), dampak ke anak tetap negatif bila dalam satu rumah terdapat pihak di luar keluarga inti yang ikut mendidik pada saat keluarga inti mendidik; Anak akan cenderung berlindung di balik orang yang membelanya. Anak juga cenderung melawan orang tuanya.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Pastikan
dan yakinkan kepada siapa pun yang tinggal di rumah kita untuk memiliki
kesepakatan dalam mendidik dan tidak ikut campur pada saat proses pendidikan
sedang dilakukan oleh kita sebagai orang tua si anak. Berikan pengertian
sedemikian rupa dengan bahasa yang bisa diterima dengan baik oleh para pihak
ke-3.
9. Menakuti Anak
Kebiasaan
ini lazim dilakukan oleh para orang tua pada saat anak menangis dan berusaha
untuk menenangkannya. Kita juga terbiasa mengancam anak untuk mengalihkan
perhatiannya, “Awas ada Pak Satpam, ga boleh beli mainan itu!” Hasilnya memang
anak sering kali berhenti merengek atau menangis, namun secara tidak sadar kita
telah menanamkan rasa takut atau benci pada institusi atau pihak yang kita
sebutkan.
Sebaiknya, berkatalah jujur dan berikan pengertian pada anak seperti kita memberi pengertian kepada orang dewasa karena sesungguhnya anak2 juga mampu berpikir dewasa. Jika anak tetap memaksa, katakanlah dengan penuh pengertian dan tataplah matanya, “Kamu boleh menangis, tapi Papa/Mama tetap tidak akan membelikan permen.” Biarkan anak kita yang memaksa tadi menangis hingga diam dengan sendirinya.
Sebaiknya, berkatalah jujur dan berikan pengertian pada anak seperti kita memberi pengertian kepada orang dewasa karena sesungguhnya anak2 juga mampu berpikir dewasa. Jika anak tetap memaksa, katakanlah dengan penuh pengertian dan tataplah matanya, “Kamu boleh menangis, tapi Papa/Mama tetap tidak akan membelikan permen.” Biarkan anak kita yang memaksa tadi menangis hingga diam dengan sendirinya.
10. Ucapan dan Tindakan Tidak Sesuai
Berlaku konsisten mutlak diperlukan dalam mendidk anak. Konsisten merupakan keseuaian antara yang dinyatakan dan tidakan. Anak memiliki ingatan yang tajam terhadap suatu janji, dan ia sanga menghormati orang-orang yang menepati janji baik untuk beri hadiah atau janji untuk memberi sanksi. So, jangan pernah mengumbar janji ada anak dengan tujuan untuk merayunya, agar ia mengikuti permintaan kita seperti segera mandi, selalu belajar, tidak menonton televisi.
Pikirlah terlebih dahulu sebelum berjanji apakah kita benar-benar bisa memenuhi janji tersebut. Jika ada janji yang tidak bisa terpenuhi segeralah minta maaf, berikan alasan yang jujur dan minta dia untuk menentukan apa yang kita bisa lakukan bersama anak untuk mengganti janji itu.
11. Hadiah untuk Perilaku Buruk Anak
Acapkali kita tidak konsisten dengan pernyataan yang pernah kita nyatakan. Bila hal ini terjadi, tanpa kita sadari kita telah mengajari anak untuk melawan kita. Contoh klasik dan sering terjadi adalah pada saat kita bersama anak di tempat umum, anak merengek meminta sesuatu dan rengekennya menjadi teriakan dan ada gerak perlawanan. Anak terus mencari akal agar keinginnanya dikabulkan, bahkan seringkali membuat kita sebagai orang tua malu. Pada saat inilah kita seringkali luluh karena tidak sabar lagi dengan rengekan anak kita. Akhirnya kita mengiyakan keinginan si Anak. “Ya sudah;kamu ambil satu permennya. Satu saja ya!”
Pernyataan tersebut adalah sebagai hadiah bagi perilaku buruk si Anak. Anak akan mempelajarinya dna menerapkannya pada kesempatan lain bahkan mungkin dengan cara yang lebih heboh lagi.
Menghadapi kondisi seperti ini, tetaplah konsisten; tidak perlu malu atau takut dikatakan sebagai orang tua yang kikir atau tega. Orang beefikir demikian belum membaca buku tentang ini dan mengalami masalah yang sama dengan kita. Ingatlah selalu bahwa kita sedang mendidik anak, Sekali kite konsisten anak tak akan pernah mencobanya lagi. Tetaplah KONSISTEN dan pantang menyerah! Apapun alasannya, jangang pernah memberi hadiah pada perilaku buruk si anak.
12. Merasa Bersalah Karena Tidak Bisa
Memberikan yang Terbaik
Kehidupan metropolitan telah memaksa sebagian besar orang tua banyak menghabiskan waktu di kantor dan di jalan raya daripada bersama anak. Terbatasnya waktu inilah yang menyebabkan banyak orang tua merasa bersalah atas situasi ini. Akibat dari perasaan bersalah ini, kita, para orang tua menyetujui perilaku buruk anaknya dengan ungkapan yang sering dilontarkan, “Biarlah dia seperti ini mungkin karena saya juga yang jarang bertemu dengannya…”
Semakin kita merasa bersalah terhadap keadaan, semakin banyak kita menyemai perilaku buruk anak kita. Semakin kita memaklumi perilaku buruk yang diperbuat anak, akan semakin sering ia melakukannya. Sebagian besar perilaku anak bermasalah yang pernah saya (penulis) hadapi banyak bersumber dari cara berpikir orang tuanya yang seperti ini.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Apa
pun yang bisa kita berikan secara benar pada anak kita adalah hal yang terbaik.
Kita tidak bisa membandingkan kondisi sosial ekonomi dan waktu kita dengan
orang lain. Tiap keluarga memiliki masalah yang unik, tidak sama. Ada orang
yang punya kelebihan pada sapek finansial tapi miskin waktu bertemu dengan
anak, dan sebaliknya. Jangan pernah memaklumi hal yang tidak baik. Lakukanlah pendekatan
kualitas jika kita hanya punya sedikit waktu; gunakan waktu yang minim itu
untuk bisa berbagi rasa sepenuhnya antara sisa2 tenaga kita, memang tidak
mudah. Tapi lakukanlah demi mereka dan keluarga kita, anak akan terbiasa.
13. Mudah menyerah dan pasrah
Setiap manusia memiliki watak yang berbeda-beda, ada yang lembut dan ada yang keras. Dominan flegmatis adalah ciri atak yang dimiliki oleh sebagian orang tua yang kurang tegas, mudah menyerah, selalu takut salah dan cenderung mengalah, pasrah. Konflik ini biasanya terjadi bila seorang yang flegmatis mempunyai anak yang berwatak keras.
Dalam kondisi kita sebagai orang tua yang tidak tegas dan mudah menyerah, si anak justru keras dan lebih tegas. Akibatnya dalam banyak hal, si anak jauh lebih dominan dan mengatur orang tuanya. Akibat lebih lanjut, orang tua sulit mengendalikan perilaku anaknya dan cenderung pasrah. Saya [penulis] sering mendengar ucapan dari para orang tua yang Dominan Flegmatis, “Duh… anak saya itu memang keras betul… saya sudah nggak sanggup lagi mengaturnya.” Atau “Biar sajalah apa maunya, saya sudah nggak sanggup lagi mendidiknya.”.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Belajarlah
dan berusahalah dengan keras untuk menjadi lebih tegas dalam mengambil
keputusan, tingkatkan watak keteguhan hati dan pantang menyerah. Jiak perlu
ambil orang orang yang kita anggap tegas untuk jadi penasihat harian kita.
14. Marah Yang Berlebihan
Kita
seringkali menyamakan antara mendidik dengan memarahi. Perlu untuk selalu
diingat, memarahi adalah salah satu cara mendidik yang paling buruk. Pada saat
memarahi anak, kita tidak sedang mendidik mereka, melainkan melampiaskan
tumpukan kekesalan kita karena kita tidak bisa mengatasi masalah dengan baik.
Marah juga seringkali hanya berupa upaya untuk melemparkan kesalahan pada pihak
lain [dan biasanya yang lebih lemah, kalo ama yang lebih kuat ya takut].
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Jangan
pernah bicara pada saat marah! Jadi tahanlah dengan cara yang nyaman untuk kita
lakukan seperti masuk kamar mandi atau pergi menghindar sehingga amarah mereda.
Yang perlu dilakukan adalah bicara “tegas” bukan bicara “keras”. Bicara yang
tegas adalah dengan nada yang datar, dengan serius dan menatap wajah serta
matanya dalam dalam. Bicara tegas adalah bicara pada saat pikiran kita
rasional, sedangkan bicara keras adalah pada saat pikiran kita dikuasai emosi.
Satu contoh lagi yang kurang baik, pada saat marah biasanya kita emosi dan mengucapkan/melakukan hal hal yang kelak kita sesali, setelah ini terjadi, biasanya kita akan menyesal dan berusaha memperbaikinya dengan memberikan dispensasi atau membolehkan hal hal yang sebelumnya kita larang. Bila hal ini berlangsung berulang kali, maka anak kita akan selalu berusaha memancing amarah kita, yang ujung ujungnya si anak menikmati hasilnya. Anak yang sering dimarahi cenderung tidak jadi lebih baik kok.
Satu contoh lagi yang kurang baik, pada saat marah biasanya kita emosi dan mengucapkan/melakukan hal hal yang kelak kita sesali, setelah ini terjadi, biasanya kita akan menyesal dan berusaha memperbaikinya dengan memberikan dispensasi atau membolehkan hal hal yang sebelumnya kita larang. Bila hal ini berlangsung berulang kali, maka anak kita akan selalu berusaha memancing amarah kita, yang ujung ujungnya si anak menikmati hasilnya. Anak yang sering dimarahi cenderung tidak jadi lebih baik kok.
15. Gengsi untuk Menyapa
Kita
pasti pernah mengalami bahwa kita terlanjur marah besar pada anak, biasanya
amarah terbawa lebih dari sehari, akibat dari rasa kesal yang masih tersisa dan
rasa gengsi, kita enggan menyapa anak kita. Masing masing pihak menunggu untuk
memulai kembali hubungan yang normal.
Apa yang harus kita lakukan agar komunikasi mencair kembali? Siapa yang seharusnya memulai? Kita sebagai orangtua lah yang seharusnya memulai saat anak mulai menunjukkan tanda tanda perdamaian dan mengikuti keinginan kita. Dengan cara ini kita dapat menunjukkan pada anak bahwa kita tidak suka pada sikap sang anak, bukan pada pribadinya.
Apa yang harus kita lakukan agar komunikasi mencair kembali? Siapa yang seharusnya memulai? Kita sebagai orangtua lah yang seharusnya memulai saat anak mulai menunjukkan tanda tanda perdamaian dan mengikuti keinginan kita. Dengan cara ini kita dapat menunjukkan pada anak bahwa kita tidak suka pada sikap sang anak, bukan pada pribadinya.
16. Memaklumi yang tidak pada tempatnya
Ini
biasanya terjadi pada kebanyakan orang tua konservatif. Misalnya melihat anak
laki laki yang suka usil, nakal banget dan suka ngacak, orang tuanya cenderung
mengatakan, “Yah… anak cowo emang harus bandel” atau saat melihat kakak adik
lagi jambak jambakan, mamanya bilang “maklumlah… namanya juga anak anak”. Atau
bahkan ketika si anak memukul teman atau mbaknya, orang tua masih juga sempat
berkelit dengan mengatakan “ya begitu deh, maklumlah namanya juga anak anak.
Nggak sengaja…”
Bila kita selalu memaklumi tindakan keliru yang dilakukan anak anak, otomatis si anak berpikir perilakunya sudah benar, dan akan jadi sangat buruk kalau terbawa sampai ke dewasa.
Bila kita selalu memaklumi tindakan keliru yang dilakukan anak anak, otomatis si anak berpikir perilakunya sudah benar, dan akan jadi sangat buruk kalau terbawa sampai ke dewasa.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Kita
tidak perlu memaklumi hal yang tidak perlu dimaklumi kok, kita harus mendidik
setiap anak tanpa kecuali sesuai dengan sifat dasarnya. Setiap anak bisa
dididik dengan tegas[ingat: bukan keras] sejak usia 2 tahun. Semakin dini
usianya, semakin mudah untuk dikelola dan diajak kerja sama. Anak kita akan mau
bekerja sama selama kita selalu mengajaknya dialog dari hati ke hati, tegas,
dan konsisten. Ingat, tidak perlu menunggu hingga usianya beranjak dewasa,
karena semakin bertambah usia, semakin tinggi tingkat kesulitan untuk mengubah
perilaku buruknya.
17. Penggunaan istilah yang tidak jelas
maksudnya
Seberapa
sering kita sebagai orang tua mengungkapkan pernyataan seperti “Awas ya, kalau
kamu mau diajak sama mama/papa, tidak boleh nakal!” atau, “awas ya, kalau nanti
diajak sama mama/papa, jangan bikin malu mama”, bisa juga terungkap, “kalo mau
jalan jalan ke taman bermain, jangan macam macam ya”.
Nah, tanpa disadari kita seringkali menggunakan istilah istilah yang sulit dimengerti ataupun bermakna ganda. Istilah ini akan membingungkan anak kita. dalam benak mereka bertanya apa yang dimaksud dengan nakal, tingkah laku apa yang termasuk dalam kategori nakal, begitu pula dengan istilah “jangan macam macam”, perilaku apa yang termasuk kategori “macam macam”. Selain bingung, mereka juga akan menebak nebak arti dari istilah istilah tersebut.
Nah, tanpa disadari kita seringkali menggunakan istilah istilah yang sulit dimengerti ataupun bermakna ganda. Istilah ini akan membingungkan anak kita. dalam benak mereka bertanya apa yang dimaksud dengan nakal, tingkah laku apa yang termasuk dalam kategori nakal, begitu pula dengan istilah “jangan macam macam”, perilaku apa yang termasuk kategori “macam macam”. Selain bingung, mereka juga akan menebak nebak arti dari istilah istilah tersebut.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Bicaralah
dengan jelas dan spesifik, misalnya “Sayang, kalau kamu mau ikut mama/papa,
tidak boleh minta mainan, permen, dan tidak boleh berteriak teriak di kasir
seperti kemarin ya”. Hal ini penting agar anak mengetahui batasan batasan apa
yang boleh dan tidak boleh dilakukan, serta jangan lupa menyepakati apa
konsekuensinya bila kesepakatan ini dilanggar.
18. Mengharap perubahan instan
Kita
terbiasa hidup dalam budaya yang serba instant, seperti mie instant, susu
instant, teh instant. Sehingga kita anak berbuat salah, kita sering ingin
sebuah perubahan yang instant pula, misal ketika biasa terlambat bangun, nggak
beresin tempat tidur, sulit dimandikan, kita ingin agar anak kita berubah total
dalan jangka waktu sehari.
Apabila kita sering memaksakan perubahan pada anak kita dalam waku singkat tanpa tahapan yang wajar, kemungkinan besar anak sulit memenuhinya. Dan ketika ia gagal dalam memenuhi keinginan kita, ia akan frustasi dan tidak yakin bisa melakukanannya lagi. Akibatnya ia memilih untuk melakukan perlawanan seperti banyak bikin alasan, acuh tak acuh, atau marah marah pada adiknya.
Apabila kita sering memaksakan perubahan pada anak kita dalam waku singkat tanpa tahapan yang wajar, kemungkinan besar anak sulit memenuhinya. Dan ketika ia gagal dalam memenuhi keinginan kita, ia akan frustasi dan tidak yakin bisa melakukanannya lagi. Akibatnya ia memilih untuk melakukan perlawanan seperti banyak bikin alasan, acuh tak acuh, atau marah marah pada adiknya.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Jika
kita mengharapkan perubahan kebiasaaan pada anak, berikanlah waktu untuk tahapan
tahapan perubahan yang rasional untuk bisa dicapainya. Hindari target perubahan
yang tidak mungkin bisa dicapainya. Bila mungkin, ajaklah ia untuk melakukan
perubahan dari hal yang paling mudah. Biarkanlah ia memilih hal yang paling
mudah menurutnya untuk diubah. Keberhasilannya untuk melakukan perubahan
tersebut memotivasi anak untuk melakukan perubahan lainnya yang lebih sulit.
Puji dan jika perlu rayakan keberhasilan yang dicapainya, sekecil dan
sesederhana apapun perubahan itu. Hal ini untuk menunjukkan betapa seriusnya
perhatian kita terhadap usaha yang telah dilakukannya. Pusatkan perhatian dan
pujian kita pada usahanya, bukan pada hasilnya.
19. Pendengar yang buruk
Sebagian
besar orang tua adalah pendengar yang buruk bagi anak anaknya. Benarkah? Bila
ada suatu masalah yang terjadi pada anak, orang tua lebih suka menyela,
langsung menasehati tanpa mau bertanya permasalahannya serta asal usul
kejadiannya.
Sebagai contoh, anak kita baru saja pulang sekolah yang mestinya pulangnya siang, dia datang di sore hari. Kita tidak mendapat keterangan apapun darinya atas keterlambatan tersebut. Tentu saja kita kesal menunggu dan sekaligus khawatir. Lalu pada saat anak kita sampai dan masih lelah, kita langsung menyambutnya dengan serentetan pertanyaan dan omelan. Bahkan setiap kali anak hendak bicara, kita selalu memotongnya. Akibatnya ia amalah tidak mau bicara dan marah pada kita.
Bila kita tidak berusaha mendengarkan mereka, maka mereka pun akan bersikap seperti itu pada kita dan akan belajar mengabaikan kita.
Sebagai contoh, anak kita baru saja pulang sekolah yang mestinya pulangnya siang, dia datang di sore hari. Kita tidak mendapat keterangan apapun darinya atas keterlambatan tersebut. Tentu saja kita kesal menunggu dan sekaligus khawatir. Lalu pada saat anak kita sampai dan masih lelah, kita langsung menyambutnya dengan serentetan pertanyaan dan omelan. Bahkan setiap kali anak hendak bicara, kita selalu memotongnya. Akibatnya ia amalah tidak mau bicara dan marah pada kita.
Bila kita tidak berusaha mendengarkan mereka, maka mereka pun akan bersikap seperti itu pada kita dan akan belajar mengabaikan kita.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Jika
kita tidak menghendaki hal ini terjadi, maka mulai saat ini jadilah pendengar
yang baik. Perhatikan setiap ucapannya. Ajukan pertanyaan pertanyaan untuk
menunjukkan ketertarikan kita akan persoalan yang dihadapinya.
20. Selalu menuruti permintaan anak
Apakah
anak kita adalah anak semata wayang? Atau anak laki laki yang ditunggu tunggu
dari beberapa anak perempuan kakak-kakaknya? Atau mungkin anak yang sudah
bertahun tahun ditunggu tunggu? Fenomena ini seringkali menjadikan orang tua
teramat sayang pada anaknya sehingga ia menerapkan pola asuh open bar, atau mo
apa aja boleh atau dituruti.
Seperti Radja Ketjil, semakin hari tuntutannya semakin aneh dan kuat, jika ini sudah menjadi kebiasaan akan sulit sekali membendungnya. Anak yang dididik dengan cara ini akan menjadi anak yang super egois, tidak kenal toleransi, dan tidak bisa bersosialisasi.
Seperti Radja Ketjil, semakin hari tuntutannya semakin aneh dan kuat, jika ini sudah menjadi kebiasaan akan sulit sekali membendungnya. Anak yang dididik dengan cara ini akan menjadi anak yang super egois, tidak kenal toleransi, dan tidak bisa bersosialisasi.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Betapapun
sayangnya kita pada anak, jangan lah pernah memberlakukan pola asuh seperti
ini. Rasa sayang tidak harus di tunjukkan dengan menuruti segala kemauannya.
Jika kita benar sayang, maka kita harus mengajarinya tentang nilai baik dan
buruk, yang benar dan yang salah, yang boleh dan yang nggak. Jika tidak, rasa
sayang kita akan membuat membuatnya jadi anak yang egois dan ‘semau gue’.
Inilah yang dalam bahasa awam sering disebut anak manja.
21. Terlalu Banyak Larangan
Ini
adalah kebalikan dari kebiasaan di atas. Bila Kita termasuk orang tua yang
berkombinasi Melankolis dan Koleris, kita mesti berhati2 karena biasanya
kombinasi ini menghasilkan jenis orang tua yang “Perfectionist”. Orang tua
jenis ini cenderung ingin menjadikan anak kita seperti apa yang kita inginkan
secara SEMPURNA, kita cenderung membentuk anak kita sesuai dengan keinginan
kita; anak kita harus begini tidak boleh begitu; dilarang melakukan ini dan
itu.
Pada saatnya anak tidak tahan lagi dengan cara kita. Ia pun akan melakukan perlawanan, baik dengan cara menyakiti diri (jika anak kita tipe sensitive) atau dengan perlawanan tersembunyi (jika anak kita tipe keras) atau dengan perang terbuka (jika anak kita tipe ekspresif keras). Oleh karena itu, kurangilah sifat perfeksionis kita, Berilah izin kepada anak untuk melakukan banyak hal yang baik dan positif. Berlatihlah untuk selalu berdialog agar kita bisa melihat dan memahami sudut pandang orang lain. Bangunlah situasi saling mempercayai antara anak dan kita. Kurangilah jumlah larangan yang berlebihan dengan meminta pertimbangan pada pasangan kita. Gunakan kesepakatan2 untuk memberikan batas yang lebih baik. Misal, kamu boleh keluar tapi jam 9 malam harus sudah tiba di rumah. Jika kemungkinan pulang terlambat, segera beri tahu Papa/Mama.
Pada saatnya anak tidak tahan lagi dengan cara kita. Ia pun akan melakukan perlawanan, baik dengan cara menyakiti diri (jika anak kita tipe sensitive) atau dengan perlawanan tersembunyi (jika anak kita tipe keras) atau dengan perang terbuka (jika anak kita tipe ekspresif keras). Oleh karena itu, kurangilah sifat perfeksionis kita, Berilah izin kepada anak untuk melakukan banyak hal yang baik dan positif. Berlatihlah untuk selalu berdialog agar kita bisa melihat dan memahami sudut pandang orang lain. Bangunlah situasi saling mempercayai antara anak dan kita. Kurangilah jumlah larangan yang berlebihan dengan meminta pertimbangan pada pasangan kita. Gunakan kesepakatan2 untuk memberikan batas yang lebih baik. Misal, kamu boleh keluar tapi jam 9 malam harus sudah tiba di rumah. Jika kemungkinan pulang terlambat, segera beri tahu Papa/Mama.
22. Terlalu Cepat Menyimpulkan
Ini
adalah gejala lanjutan jika kita sebagai orang tua yang mempunyai kebiasaan
menjadi pendengar yang buruk. Kita cenderung memotong pembicaraan pada saat
anak kita sedang memberi penjelasan, dan segera menentukan kesimpulan akhir
yang biasanya cenderung memojokkan anak kita. Padahal kesimpulan kita belum
tentu benar, dan bahan seandainya benar, cara seperti ini akan menyakitkan hati
anak kita.
Seperti contoh anak yang pulang terlambat. Pada saat anak kita pulag terlambat dan hendak menjelaskan penyebabnya, kita memotong pembicaraannya dengan ungkapan, “Sudah! Nggak pake banyak alesan.” Atau “Ah, Papa/Mama tahu, kamu pasti maen ke tempat itu lagi kan?!”.
Jika kita emlakukan kebiasaan ini terus menerus, anak akan berpikir kita adalah orang tua ST 001 [alias Sok Tau Nomor Satu], yang tidak mau memahami keadaan dan menyebalkan. Lalu mereka tidak mau bercerita atau berbicara lagi, dan akibat selanjutnya sang anak akan benar benar melakukan hal hal yang kita tuduhkan padanya. Ia tidak mau mendengarkan nasehat kita lagi, dan pada tahapan terburuk, dia akan pergi pada saat kita sedang berbicara padanya. Pernahkah anda mengalami hal ini?
Seperti contoh anak yang pulang terlambat. Pada saat anak kita pulag terlambat dan hendak menjelaskan penyebabnya, kita memotong pembicaraannya dengan ungkapan, “Sudah! Nggak pake banyak alesan.” Atau “Ah, Papa/Mama tahu, kamu pasti maen ke tempat itu lagi kan?!”.
Jika kita emlakukan kebiasaan ini terus menerus, anak akan berpikir kita adalah orang tua ST 001 [alias Sok Tau Nomor Satu], yang tidak mau memahami keadaan dan menyebalkan. Lalu mereka tidak mau bercerita atau berbicara lagi, dan akibat selanjutnya sang anak akan benar benar melakukan hal hal yang kita tuduhkan padanya. Ia tidak mau mendengarkan nasehat kita lagi, dan pada tahapan terburuk, dia akan pergi pada saat kita sedang berbicara padanya. Pernahkah anda mengalami hal ini?
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Jangan
pernah memotong pembicaraan dan mengambil kesimpulan terlalu dini. Tak seorang
pun yang suka bila pembicaraannya dipotong, apalagi ceritanya disimpulkan oleh
orang lain.
Dengarkan, dengarkan, dan dengarkan sambil memberikan tanggapan positif dan antusias. Ada saatnya kita akan diminta bicara, tentunya setelah anak kita selesai dengan ceritanya. Bila anak sudah membuka pertanyaan, “menurut Papa/Mama bagaimana?” artinya ia sudah siap untuk mendengarkan penuturan atau komentar kita.
Dengarkan, dengarkan, dan dengarkan sambil memberikan tanggapan positif dan antusias. Ada saatnya kita akan diminta bicara, tentunya setelah anak kita selesai dengan ceritanya. Bila anak sudah membuka pertanyaan, “menurut Papa/Mama bagaimana?” artinya ia sudah siap untuk mendengarkan penuturan atau komentar kita.
23. Mengungkit kesalahan masa lalu
Kebiasan
menjadi pendengar yang buruk dan terlalu cepat menyimpulkan akan dilanjutkan
dengan penutup yang tidak kalah menyakitkan hati anak kita, yakni dengan
mengungkit ungkit catatan kesalahan yang pernah dibuat anak kita. Contohnya,
“Tuh kan Papa/Mama bilang apa? Kamu tidak pernah mau dengerin sih, sekarang
kejadian kan. Makanya dengerin kalau orang tua ngomong. Dasar kamu emang anak
bodo sih.”
Kiat berharap dengan mengungkit kejadian masa lalu, anak akan belajar dari masalah. Namun yang terjadi adalah sebaliknya, ia akan sakit hati dan berusaha mengulangi kesalahannya sebagai tindakan balasan dari sakit hatinya.
Kiat berharap dengan mengungkit kejadian masa lalu, anak akan belajar dari masalah. Namun yang terjadi adalah sebaliknya, ia akan sakit hati dan berusaha mengulangi kesalahannya sebagai tindakan balasan dari sakit hatinya.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Jika
kita tidak ingin anak berperilaku buruk lagi, jangan lah diungkit ungkit masa
lalunya. Cukup dengan tatapan mata, jika perlu rangkullah ia. Ikutlah berempati
sampai dia mengakui kesalahan dan kekeliruannya. Ucapkan pernyataan seperti
“manusia itu tempatnya salah dan lupa, semoga ini menjadi pelajaran berharga
buat kamu”, atau “Papa/mama bangga kamu bisa menemukan hikmah positif dari
kejadian ini”. Jika ini yang kita lakukan, maka selanjutnya dia akan lebih
mendengar nasehat kita. Coba dan buktikanlah!.
24. Suka Membandingkan
Hal
yang paling menyebalkan adalah saat kita dibandingkan dengan orang lain. Bila
kita sedang berada di suatu acara dan bertemu dengan orang yang berpakaian
hampir sama atau berwarna sama, kita merasa tidak nyaman untuk berdekatan.
Apalagi jiak disbanding bandingkan [FTR, saya tidak merasa seperti ini lho!]
Secara psikologis, kita sangat tdiak suka bila keberadaan kita baik secara fisik atau sifat sifat kita dibandingkan dengan orang lain. Coba ingat ingatlah pengalaman kita saat ada orang yang membandingkan kita, bagaimana perasaan kita saat itu?
Tetapi anehnya, kebanyakan orang tua entah kenapa justru sering melakukan hal ini pada anaknya. Misal membandingkan anak yang malas dengan yang rajin. Anak yang rapi dengan yang gedabrus. Anak yang cekatan dengan anak yang lamban. Terutama juga anak yang mendapat nilai tinggi di sekolah dengan anak yang nilainya rendah. Ungkapan yang sering terdengar biasanya seperti, “Coba kamu mau rajin belajar kayak adik mu, maka pasti nilai kamu tidak seperti ini!”.
Jika kita tetap melakukan kebiasaan ini, maka ada beberapa akibat yang langsung kita rasakan; anak kita makin tidak menukai kita. anak yang dibandingkan akan iri dan dengki dengan si pembanding. Anak pembanding akan merasa arogan dan tinggi hati.
Secara psikologis, kita sangat tdiak suka bila keberadaan kita baik secara fisik atau sifat sifat kita dibandingkan dengan orang lain. Coba ingat ingatlah pengalaman kita saat ada orang yang membandingkan kita, bagaimana perasaan kita saat itu?
Tetapi anehnya, kebanyakan orang tua entah kenapa justru sering melakukan hal ini pada anaknya. Misal membandingkan anak yang malas dengan yang rajin. Anak yang rapi dengan yang gedabrus. Anak yang cekatan dengan anak yang lamban. Terutama juga anak yang mendapat nilai tinggi di sekolah dengan anak yang nilainya rendah. Ungkapan yang sering terdengar biasanya seperti, “Coba kamu mau rajin belajar kayak adik mu, maka pasti nilai kamu tidak seperti ini!”.
Jika kita tetap melakukan kebiasaan ini, maka ada beberapa akibat yang langsung kita rasakan; anak kita makin tidak menukai kita. anak yang dibandingkan akan iri dan dengki dengan si pembanding. Anak pembanding akan merasa arogan dan tinggi hati.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Tiap
manusia terlahir dengan karakter dan sifat yang unik. Maka jangan sekali kali
membandingkan satu dengan yang lainnya. Catatlah perubahan perilaku masing
masing anak. Jika ingin membandingkan, bandingkanlah dengan perilaku mereka di
masa lalu, ataupun dengan nilai nilai ideal yang ingin mereka capai. Misalnya,
“Eh, biasanya anak papa/mama suka merapikan tempat tidur, kenapa hari ini nggak
ya?”
25. Paling benar dan paling tahu
segalanya
Egosentris
adalah masa alamiah yang terjadi pada anak usia 1-3 tahun. Usia tersebut adalah
masa ketika anak merasa paling benar dan memaksakan kehendaknya. Tapi entah
mengapa ternyata sifat ini terbawa dan masih banyak dimiliki oleh para orang
tua. Contoh ungkapan orang tua, “ah kamu ini anak bau kencur, tau apa kamu soal
hidup.” Atau, “kamu tau nggak, kalo papa/mama ini sudah banyak makan asam garam
kehidupan, jadi nggak pake kamu nasehatin papa/mama!”.
Jika kita memiliki kebiasaan semacam ini, maka kita membuat proses komunikasi dengan anak mengalami jalan buntu. Meskipun maksud kita adalah untuk menunjukkan superioritas kita di depan anak, tapi yang ditangkap anak adalah semacam kesombongan yang luar biasa, dan tentu saja tak seorang pun mau mendengarkan nasehat orang yang sombong.
Jika kita memiliki kebiasaan semacam ini, maka kita membuat proses komunikasi dengan anak mengalami jalan buntu. Meskipun maksud kita adalah untuk menunjukkan superioritas kita di depan anak, tapi yang ditangkap anak adalah semacam kesombongan yang luar biasa, dan tentu saja tak seorang pun mau mendengarkan nasehat orang yang sombong.
Apa yang seharusnya kita lakukan?
Seringkali
usia dijadikan acuan tentang banyaknya pengetahuan juga banyaknya pengalaman.
Pada zaman dulu hal ini bisa jadi benar, namun untuk saat ini, kondisi itu
tidak berlaku lagi. Siapa yang lebih banyak mendapatkan informasi dan mengikuti
kegiatan kegiatan, maka dialah yang lebih banyak tahu dan berpengalaman.
Jadi janganlah merasa menjadi orang yang paling tahu, paling hebat, paling alim. Dengarkanlah setiap masukan yang datang dari anak kita.
Jadi janganlah merasa menjadi orang yang paling tahu, paling hebat, paling alim. Dengarkanlah setiap masukan yang datang dari anak kita.
26. Saling melempar tanggung jawab
Mendidik
anak terutama menjadi tanggung jawab orang tua, yaitu ayah dan ibu. Bila kedua
belah pihak merasa kurang bertanggung jawab, maka proses pendidikan anak akan
terasa timpang dan jauh dari berhasil. Celakanya lagi, bila orang tua sudah
mulai merasakan dampak perlawanan dari anak anaknya, yang sering terjadi malah
saling menyalahkan satu sama lain.
Pernyataan yang kerap muncul adalah, “kamu emang nggak becus ngedidik anak”, dan kemudian dibalas “enak aja lo ngomong begitu, nah kamu sendiri, selama ini kemana aja?!”. Jika cara ini yang dipertahankan di keluarga, akankah menyelesaikan masalah? Tunggu saja hasilnya, pasti orang tua lah yang akan menuai hasilnya, sang anak akan merasa perilaku buruknya adalah bukan karena kesalahannya, tapi karena ketidak becusan salah satu dari orang tuanya. Jelas anak kita akan merasa terbela dan semakin berperilaku buruk.
Pernyataan yang kerap muncul adalah, “kamu emang nggak becus ngedidik anak”, dan kemudian dibalas “enak aja lo ngomong begitu, nah kamu sendiri, selama ini kemana aja?!”. Jika cara ini yang dipertahankan di keluarga, akankah menyelesaikan masalah? Tunggu saja hasilnya, pasti orang tua lah yang akan menuai hasilnya, sang anak akan merasa perilaku buruknya adalah bukan karena kesalahannya, tapi karena ketidak becusan salah satu dari orang tuanya. Jelas anak kita akan merasa terbela dan semakin berperilaku buruk.
Apa yang seharusnya kita lakukan?
Hentikan
saling menyalahkan. Ambillah tanggung jawab kita selaku orang tua secara
berimbang.keberhasilan pendidikan ada di tangan orang tua. Pendidikan adalah
kerja sama tim, da bukan individu. Jangan pakai alasan tidak ada waktu, semua
orang sama sama memiliki waktu 24 jam sehari, jadi aturlah waktu kita dengan
berbagai macam cara dan kompaklah selalu dengan pasangan kita.
Selalu lakukan introspeksi diri sebelum introspeksi orang lain.
Selalu lakukan introspeksi diri sebelum introspeksi orang lain.
27. Kakak harus selalu mengalah
Di
negeri ini terdapat kebiasaan bahwa anak yang lebih tua harus selalu mengalah
pada saudaranya yang lebih muda. Tampaknya hal itu sudah menjadi budaya. Tapi
sebenarnya, adakah dasar logikanya dan dimana prinsip keadilannya?
Ada satu contoh nyata seperti berikut:
Ada seorang kakak beradik, kakak bernama Dita dan adik bernama Rafiq. Neneknya selaku pengasuh utama selalu memarahi Dita ketika Rafiq menangis. Tanpa mengetahui duduk persoalan serta siapa yang salah dan benar, si Nenek selalu membela si adik dan melimpahkan kesalahan pada kakaknya. “Kamu ini gimana sih? Sudah besar kok tidak mau mengalah ama adiknya.” Begitulah ucapan yang keluar dari mulut si Nenek. Terkadang dibumbui dengan cubitan pada kakaknya.
Apa yang terjadi selanjutnya? Dita menjadi anak yang tidak memiliki rasa percaya diri. Ia pun mulai membenci adiknya. Lama kelamaan Dita mulai banyak melawan atas ketidak adilan ini, dan yang terjadi kemudian adalah kedua bersaudara ini makin sering bertengkar. Sementara Rafiq yang selalu dibela bela menjadi makin egois dan makin berani menyakiti kakaknya, selalu merasa benar dan memberaontak. Sang nenek perlahan lahan menobatkan Radja Ketjil yang lalim di tengah keluarga ini.
Ada satu contoh nyata seperti berikut:
Ada seorang kakak beradik, kakak bernama Dita dan adik bernama Rafiq. Neneknya selaku pengasuh utama selalu memarahi Dita ketika Rafiq menangis. Tanpa mengetahui duduk persoalan serta siapa yang salah dan benar, si Nenek selalu membela si adik dan melimpahkan kesalahan pada kakaknya. “Kamu ini gimana sih? Sudah besar kok tidak mau mengalah ama adiknya.” Begitulah ucapan yang keluar dari mulut si Nenek. Terkadang dibumbui dengan cubitan pada kakaknya.
Apa yang terjadi selanjutnya? Dita menjadi anak yang tidak memiliki rasa percaya diri. Ia pun mulai membenci adiknya. Lama kelamaan Dita mulai banyak melawan atas ketidak adilan ini, dan yang terjadi kemudian adalah kedua bersaudara ini makin sering bertengkar. Sementara Rafiq yang selalu dibela bela menjadi makin egois dan makin berani menyakiti kakaknya, selalu merasa benar dan memberaontak. Sang nenek perlahan lahan menobatkan Radja Ketjil yang lalim di tengah keluarga ini.
Apa yang seharusnya kita lakukan?
Anak
harus diajari untuk memahami nilai benar dan salah atas perbuatannya terlepas
dari apakah dia lebih muda atau lebih tua. Nilai benar dan salah tidak mengenal
konteks usia. Benar selalu benar dan salah selalu salah berapapun usia
pelakunya.
Berlakulah adil. Ketahuilah informasi secara lengkap sebelum mengambil keputusan. Jelaskan nilai benar dan salah pada masing masing anak, buat aturan main yang jelas yang mudah dipahami oleh anak anak anda.
Berlakulah adil. Ketahuilah informasi secara lengkap sebelum mengambil keputusan. Jelaskan nilai benar dan salah pada masing masing anak, buat aturan main yang jelas yang mudah dipahami oleh anak anak anda.
28. Menghukum secara fisik
Dalam
kondisi emosi, kita cenderung sensitif oleh perilaku anak, dimulai dengan suara
keras, dan kemudian meningkat menjadi tindakan fisik yang menyakiti anak.
Jika kita terbiasa dengan keadaan ini, kita telah mendidiknya menjadi anak yang kejam dan trengginas, suka menyakiti orang lain dan membangkang secara destruktif. Perhatikan jika mereka bergaul dengan teman sebayanya. Percaya atau tidak, anak akan meniru tindakan kita yang suka memukul. Anak yang suka memukul temannya pada umumnya adalah anak yang sering dipukuli di rumahnya.
Jika kita terbiasa dengan keadaan ini, kita telah mendidiknya menjadi anak yang kejam dan trengginas, suka menyakiti orang lain dan membangkang secara destruktif. Perhatikan jika mereka bergaul dengan teman sebayanya. Percaya atau tidak, anak akan meniru tindakan kita yang suka memukul. Anak yang suka memukul temannya pada umumnya adalah anak yang sering dipukuli di rumahnya.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Jangan
pernah sekalipun menggunakan hukuman fisik kepada anak, mencubit, memukul, atau
menampar bahkan ada juga yang pakai alat seperti cambuk, sabuk, rotan, atau
sabetan.
Gunakanlah kata kata dan dialog, dan jika cara dialog tidak berhasil maka cobalah evaluasi diri kita. Temukanlah jenis kebiasaan yang keliru yang selama ini telah kita lakukan dan menyebabkan anak kita berperilaku seperti ini.
Gunakanlah kata kata dan dialog, dan jika cara dialog tidak berhasil maka cobalah evaluasi diri kita. Temukanlah jenis kebiasaan yang keliru yang selama ini telah kita lakukan dan menyebabkan anak kita berperilaku seperti ini.
29. Menunda atau membatalkan hukuman
Kita
semua tahu bahaya yang luar biasa dari merokok, mulai dari kanker, impotensi,
sampai gangguan kehamilan dan janin. Tapi mengapa masih banyak yang tidak
peduli dan tetap membandel untuk terus menjadi ahli hisap? Jelas karena akibat
dari rokok itu terjadi kemudian dan bukan seketika itu juga.
Begitu juga dengan anak kita. Jika anda menjanjikan sebuah konsekuensi hukuman atau sanksi bila anak berperilaku buruk, jangan menunggu waktu yang terlalu lama, menunda, atau bahkan membatalkan karena alasan lupa atau kasihan.
Bila telah terjadi kesepakatan antara kita dan anak seperti tidak boleh minta minta dibelikan permen atau mainan dan ternyata anak mencoba coba untuk merengek, kita ingatkan kembali pada kepadanya tentang kesepakatan yang kita buat bersama. Anak biasanya akan berhenti merengek. Namun sayangnya kietika anak berhenti merengek , kita menganggap masalah susah selesai dan akhirnya kita menunda atau bahkan membatalkan hukuman entah karena lupa atau kasihan. Apa akibatnya? Anak akan mempunya anggapan bahwa kita hanya omong doang, maka mereka akan mempunya tendensi untuk melanggar kesepakatan karena hukuman tidak dilaksanakan.
Begitu juga dengan anak kita. Jika anda menjanjikan sebuah konsekuensi hukuman atau sanksi bila anak berperilaku buruk, jangan menunggu waktu yang terlalu lama, menunda, atau bahkan membatalkan karena alasan lupa atau kasihan.
Bila telah terjadi kesepakatan antara kita dan anak seperti tidak boleh minta minta dibelikan permen atau mainan dan ternyata anak mencoba coba untuk merengek, kita ingatkan kembali pada kepadanya tentang kesepakatan yang kita buat bersama. Anak biasanya akan berhenti merengek. Namun sayangnya kietika anak berhenti merengek , kita menganggap masalah susah selesai dan akhirnya kita menunda atau bahkan membatalkan hukuman entah karena lupa atau kasihan. Apa akibatnya? Anak akan mempunya anggapan bahwa kita hanya omong doang, maka mereka akan mempunya tendensi untuk melanggar kesepakatan karena hukuman tidak dilaksanakan.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Jila
kita sudah mempunyai kesepakatan dan anak melanggarnya, maka sanksi harus
dilaksanakan, jika kita kasihan, kita bisa mengurangi sanksinya, dan usahakan
hukumanya jangan bersifat fisik, tapi seperti pengurangan bobot kesukaan mereka
seperti jam bermain, menonton tv, ataupun bermain video game.
30. Terpancing Emosi
Jika
ada keinginannya yang tidak terpenhi anak sering kali rewel atau merengak,
menagis, berguling dsb, dengan tujuan memancing emosi kita yang apda kahirnya
kita marah atau malah mengalah. Jika kita terpancing oleh emosi anak, anak akan
merasa menang, dan merasa bisa megendalikan orang tuanya. Anak akan terus
berusaha mengulanginya pada kesempatan lain dengan pancingan emosi yang lebih
besar la gi.
Apa yang seharusnya kita lakukan?
Yang
terbaik adalah diam, tidak bicara, dan tidak menanggapi. Jangan pedulikan ulah
anak kita. Bila anak menangis katakan padanya bahwa tangisannya tidak akan
mengubah keputusan kita. Bila anak tidak menangis tapi tetap berulah, kita
katakan saja bahwa kita akan mempertimbangkan keputusan kita dengan catatan si
anak tidak berulah lagi. Setelah pernyataan itu kita keluarkan, lakukan aksi
diam. Cukup tatap dengan mata pada anak kita yang berulah, hingga ia berhenti
berulah, Bila proses ini membutuhkan waktu lebih dari 30 menit tabahlah untuk
melakukannya. Dalam proses ini kita jangan malu pada orang yang memperhatikan
kita; dan jangan pula ada orang lain yang berusaha menolong anak kita yang
sedang berulah tadi… SEKALI KITA BERHASIL MEMBUAT ANAK KITA MENGALAH, MAKA
SELANJUTNYA DIA TIDAK AKAN MENGULANGI UNTUK YANG KEDUA KALINYA.
31. Menghukum Anak Saat Kita Marah
Hal
yang perlu kita perhatikan dan selalu ingat adalah jangan pernah memberikan
sanksi atau hukuman apa pun pada anak ketika emosi kita sedang memuncak. Pada
saat emosi kita sedang tinggi, apa pun yang keluar dari mulut kita, baik dalam
bentuk kata2 maupun hukuman akan cenderung menyakiti dan menghakimi dan tidak
menjadikan anak lebih baik. Kejadin tersebut akan membekas meski ia telah
beranjak dewasa. Anak juga bisa mendendam pada orang tuanya karena sering
mendapatkan perlakuan di luar batas.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
·
Bila kita sedang sangat marah segeralah
menjauh dari anak. Pilihlah cara yang tepat untuk bisa menurunkan amarah kita
dengan segera.
·
Saat marah kita cenderung memberikan
hukuman yang seberat2ya pada anak kita, dan hanya akan menimbulkan perlawanan
baru yang lebih kuat dari anak kita, sementara tujuan pemberian sanksi adalah
untuk menyadarkan anak supaya ia memahami perilaku buruknya. Setelah emosi
reda, barulah kita memberikan hukuman yang mendidik dan tepat dengan konteks
kesalahan yang diperbuat. Ingat, prinsip hukuman adalah untuk mendidik bukan
menyakiti. Pilihlah bentuk sanksi atau hukuman yang mengurangi aktivitas yang
disukainya, seperti mengurangi waktu main game, atau bermain sepeda.
32. Mengejek
Orang
tua yang biasa menggoda anaknya, seringkali secara tidak sadar telah membuat
anak menjadi kesal. Dan ketika anak memohon kepada kita untuk tidak
menggodanya, kita malah semakin senang telah berhasil membuatnya kesal atau
malu. Hal ini akan membangun ketidaksukaan anak pada kita dan yang sering
terjadi anak tidak menghargai kita lagi. Mengapa? Karena ia menganggap kita
juga seperti teman2nya yang suka menggodanya,
Apa yang seharusnya kita lakukan?
Jika
ingin bercanda dengan anak kita, pilihlan materi bercanda yang tidak membuatnya
malu atau yang merendahkan dirinya. Akan jauh lebih baik jika seolah-olah
kitalah yang jadi badut untuk ditertawakan. Anak kita tetap aka n menghormati
kita sesudah acara canda selesai. Jagalah batas2 dan hindari bercanda yang bisa
membuat anak kesal apalagi malu. Bagimana caranya? Lihat ekspresi anak kita.
Apakah kesal dan meminta kita segera menghentikannya? Bila ya, segeralah
hentikan dan jika perlu meminta maaflah ayas kejadian yang baru terjadi.
Katakan bahwa kita tidak bermaksud merendahkannya dan kita berjanji tidak akan
mengulanginya lagi.
33. Menyindir
Terkadang
karena saking marahnya orang tua sering mengungkapkannya dengan kata2 singkat
yang pedas dengan maksud menyindir, seperti, “Tumben hari gini sudah pulang”,
atau “Sering2 aja pulang malem!” atau”Memang kamu pikir Mama/Papa in satpam
yang jaga pintu tiap malam?”.
Kebiasaan ini tidak akan membuat anak kita menyadari akan perilaku buruknya tapi malah sebaliknya akan mebuat ia semakin menjadi-jadi dan menjaga jarak dengan kita. Kita telah menyakiti hatinya dan membuatnya tidak ingin berkomunikasi dengan kita.
Kebiasaan ini tidak akan membuat anak kita menyadari akan perilaku buruknya tapi malah sebaliknya akan mebuat ia semakin menjadi-jadi dan menjaga jarak dengan kita. Kita telah menyakiti hatinya dan membuatnya tidak ingin berkomunikasi dengan kita.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Katakanlah
secara langsung apa yang kita inginkan dengan kalimat yang tidak menyinggung
perasaan, memojokkan bahkan menyakiti hatinya. Katakan saja, “Sayang, Papa/Mama
khawatir akan keselamatan kamu lho kalo kamu pulang terlalu malam”. Dan
sejenisnya.
34. Memberi julukan yang buruk
Kebiasaan
memberikan julukan yang buruk pada anak bisa mengakibatkan rasa rendah diri,
tidak percaya diri/mimder, kebencian juga perlawanan. Adakalanya anak ingin
membuktikan kehebatan julukan atau gelar tersebut pada orang tuanya.
Solusinya
Mengganti
julukan buruk dengan yang baik, seperti, anak baik, anak hebat, anak bijaksana.
Jika tidak bisa menemukannya cukup dengan panggil dengan nama kesukaannya saja.
35. Mengumpan Anak yang Rewel
Pada
saat anak marah, merengek atau menangis, meminta sesuatu de ngan memaksa, kita
biasanya mengalihkan perhatiannya kepada hal atau barang lain. Hal ini
dimaksudkan supaya anak tidak merengek lagi. Namun yang terjadi malah
sebaliknya, rengekan anak semakin menjadi-jadi. Contohnya, anak menangis karena
ia minta dibelikan mainan, Kemusian kita berusaha membuatnya diam dengan
berusaha mengalihkan perhatiannya seperi, ” Tuh lihat tuh ada kakak pake baju
warna apa tuh…”atau” Lihat ini lihat, gambar apa ya lucu banget?”
Ingatlah selalu, pada saat anak kita sedang fokus pada apa yang diinginkannya, ia akan memancing emosi kita dan emosinya sendiri akan menjadi sensitif. Anak kita pada umumnya adalah anak yang cerdas. ia tidak ingin diakihkan ke hal lain jika masalah ini belum ada kata sepakat penyelesaiannya. Semakin kita berusaha mengalihkan ke hal lain, semakin marah lah anak kita.
Ingatlah selalu, pada saat anak kita sedang fokus pada apa yang diinginkannya, ia akan memancing emosi kita dan emosinya sendiri akan menjadi sensitif. Anak kita pada umumnya adalah anak yang cerdas. ia tidak ingin diakihkan ke hal lain jika masalah ini belum ada kata sepakat penyelesaiannya. Semakin kita berusaha mengalihkan ke hal lain, semakin marah lah anak kita.
Apa yang sebaiknya dilakukan?
Selesaikan
apa yang diinginkan oleh anak kita dengan membicarakannya dan membuat
kesepakatan di tempat, jika kita belum sempat membuat kesepakatan di rumah.
Katakan secara langsung apa yang kita inginkan terhadap permintaan anak
tesebut, seperti “Papa/Mama belum bisa membelikan mainan itu saat ini. Jika
kamu mau harus menabung lebih dahulu. Nanti Papa/Mama ajari cara menabung. Bila
kamu terus merengak kita tidak jadi jalan-jalan dan langsung pulang.” Jika
kalimat ini yang kita katakan dan anak kita tetap merengek, segeralah kita
pulang meski urusan belanja belum selesai, Untuk urusan belanja kita masih bisa
menundanya. Tapi jangan sekali-kali menunda dalam mendidik anak.
36. Televisi sebagai agen Pendidikan
Anak
Perilaku anak terbentuk karena 4 hal:
·
Berdasar kepada siapa yang lebih dulu
mengajarkan kepadanya: kita atau TV?
·
Oleh siapa yang dia percaya: apakah anak
percaya pada kata2 kita atau ketepatan wakyu program2 TV?
·
Oleh siapa yang meyampaikannya lebih
menyenangkan: apakah kita menasehatinya dengan cara menyenangkan atau program2
TV yang lebih menyenangkan?
·
Oleh siapa yang sering menemaninya: kita
atau TV?
Apa yang seharusnya kita lakukan?
·
Bangun komunikasi dan kedekatan dengan
mengevaluasi 4 hal tersebut yang menjadi faktor pembentuk perilaku anak kita.
·
Menggantinya dengan kegiatan di rumah
atau di luar rumah yang padat bagi anak2nya.
·
Gantilah program TV dengan film2
pengetahuan yang lebih mendidik dan menantang mulai dari kartun hingga CD dalam
bentuk permainan edukatif.
37. Mengajari Anak untuk Membalas
Sebagian anak ada yang memiliki kecenderungan suka
memukul dan sebagian lagi menjadi objek penderita dengan lebih banyak menerima
pukulan dari rekan sebayanya. Sebagian orang tua biasanya tidak sabar melihat
anak kita disakiti dan memprovokasi anak kita unutuk membalasnya. Hal ini
secara tidak langsung mengajari anak balas dendam. Sebab pada saat itu emosi
anak sedang sensitif dan apa yang kita ajarkan saat itu akan membekas. Jangan
kaget bila anak kita sering membalas atau membalikkan apa yang kita sampaikan
kepadanya.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
·
Mengajarkan anak untuk menghindari
teman-teman yang suka menyakiti.
·
Menyampaikan pada orang tua yang
bersangkutan bahwa anak kita sering mendapat perlakuan buruk dari anaknya.
·
Ajaklah orang tua anak yang suka memukul
untuk mengikuti program parenting baik di radio atau media lainnya.
Artikel ini bersumber dari sini , terimakasih!!!